Haruskah Menyerah Ketika Tak Ada Lagi Harapan?


Barangkali yang membuat seseorang bisa tetap survive (dari apa saja) bukanlah harapan, melainkan bertahan.

Mimpi, Harapan, dan Kesempatan

Sebelumnya saya akan menjelaskan bahwa, setidaknya menurut saya, mimpi (dream), harapan (hope), dan kesempatan (opportunity) adalah hal-hal yang saling berkaitan satu sama lain. Adanya kesempatan membuat kita memiliki harapan, lalu dengan adanya harapan memperbolehkan kita untuk bermimpi.

Misalnya saat kita sedang sakit, tetapi kita memiliki kesempatan untuk rawat inap di rumah sakit. Adanya kesempatan ini menghadirkan harapan bisa sembuh. Dan dengan adanya harapan bisa sembuh ini, membuat kita bisa bermimpi untuk sembuh kembali.

Atau seperti kesempatan mengikuti bimbingan belajar yang membuat harapan memasuki PTN-PTN terbaik menjadi ada. Dari munculnya harapan ini, kita menjadi bermimpi untuk masuk UI.

Mudahnya, kesempatan ada, harapan datang, mimpi dibuat.

Harapan Hanyalah Satu-satunya Jalan, Benarkah?

Barangkali kita pernah mendengar kalimat "Selama masih ada harapan, di situ ada jalan" atau "Pemenang hanyalah ia yang memiliki mimpi yang besar."

Well, mungkin ada benarnya, tetapi barangkali harapan atau mimpi bukanlah satu-satunya cara untuk kita bisa berhasil. Karena jika kita hanya mengandalkan harapan untuk berhasil, dan harapan ini bergantung pada kesempatan yang ada di luar kendali kita, bagaimana jika sewaktu-waktu kesempatan tersebut hilang atau tidak ada? Bagaimana jika harapan tersebut tiba-tiba hilang atau tidak datang? Haruskah kita gagal? Haruskah kita menyerah begitu saja di tengah jalan?

Menurut saya sih tidak. Saya menolak untuk gagal hanya karena tidak ada atau hilangnya kesempatan atau harapan (untuk berhasil). Menurut saya, barangkali yang membuat seseorang bisa berhasil bukanlah harapan, melainkan bertahan—dari segala kesulitan yang ia hadapi.

Jalan Bertahan—The Idea of Stay-Surviving

Barangkali yang membuat seseorang bisa tetap survive (dari apa saja) bukanlah harapan, melainkan bertahan.

Maksud saya, mungkin—lebih tepatnya—mereka yang kalah bukanlah mereka yang kehilangan harapan, melainkan mereka yang ("hanya") gagal bertahan. Untuk bisa bertahan (saja), tidak butuh adanya harapan, kita hanya butuh kemauan-untuk-bertahan (yang mana ini lebih simple daripada punya harapan/mimpi tinggi terlebih dahulu).

A 5-Levels Game

Untuk mempermudah, bayangkan kita sedang berada dalam sebuah game yang terdiri dari 5 level. Saya akan membuat dua skenario di mana dalam skenario pertama, kita berusaha menyelesaikan game-nya (hanya) dengan "mimpi/harapan," sedangkan dalam skenario kedua kita menyelesaikan game-nya hanya dengan berusaha bertahan.

1. Completing only with Dream

Dalam skenario pertama, kita hanya menggunakan mimpi/harapan. Itu berarti mimpi/harapan kita adalah—ya tentu saja—berhasil mencapai level 5 (level terakhir) dan memenangkannya.

Masalahnya, pikirkan tentang ini, bagaimana jika di level 3 permainan sudah mulai sulit? Sehingga mimpi/harapan kita untuk mencapai level 5 mulai pupus, yang mana pupusnya mimpi/harapan ini akan berdampak pada mental (kepercayaan diri) kita, lalu berujung pada performa permainan game kita yang memburuk.

Tidak hanya berhenti di situ, sebuah paradoks tercipta, performa permainan yang semakin buruk ini akan semakin menghapus mimpi/harapan kita (yang ingin mencapai level 5), karena kita tahu itu (mencapai level 5) semakin tidak mungkin jika level 3 saja permainan kita sudah seburuk ini.

2. Completing only with The Idea of Stay-Surviving

Bandingkan dengan skenario kedua di mana kita hanya mengandalkan kebertahanan. Di sini, kita tidak punya mimpi/harapan apa pun, tujuan kita hanyalah bertahan sebisa mungkin—simple.

Mungkin level 1 mudah, level 2 sedang, level 3 mulai susah, tetapi yang perlu kita lakukan (alias tugas kita) hanyalah bertahan di level kita saat ini sekuat kita (itu saja, tidak perlu mimpi/harapan yang muluk-muluk). Dengan begini, mungkin tanpa kita sadari kita sudah mencapai level 5—karena terkadang, kemampuan kita yang sebenarnya itu di luar ekspektasi kita.

Penutup: The Last Weapon

Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk bilang bahwa "mimpi atau berharap itu tidak penting," tidak. Menjadi optimis itu penting. Namun, yang mau saya tekankan adalah ketika kita kehilangan mimpi/harapan, bukan berarti (waktunya) kita (harus) kalah. Karena kita masih punya satu senjata lagi, yakni (cukup) bertahan. Itu saja, semampu kita.

Comments